Kalau hari ini ada, sebenarnya saya tidak pantas menerima.
Namun setia-Hu selalu terasa, menarik saya kembali pada-Nya.
Hari ini, sekian lama setelah
saya meninggalkan kesukaan saya berwaktu teduh bersama-Nya. Ya, beberapa hari
belakangan ini saya sudah tidak pernah bersaat teduh tiap pagi, seperti yang
dulu selalu saya nanti-nantikan. Entah alasan apa yang mungkin kedengaran masuk
akal dan bisa saja saya buat-buat, tetapi kenyataan sesungguhnya hanya satu ini
masalahnya: saya malas.
Nah, ini agak lucu kedengarannya,
saudara-saudara. Rasanya bodoh sekali memikirkan saya malas bersaat teduh, di
tengah-tengah pengetahuan dan perkataan Firman Tuhan yang mungkin sudah “seabrek” saya ketahui. Mestinya, kan,
selaras juga dengan kemandirian dan kedisiplinan saya dalam hubungan pribadi
dengan Tuhan. Ternyata, dalam kasus ini, saya tidak lebih dari para Farisi yang
hanya ngomong doang dalam imannya!
Bersyukur, sangat bersyukur,
malam Jumat (entah Kliwon apa bukan) ini, Tuhan mengutus kakak saya terkasih,
dr. Sandy Grace Tindage (ah, sebenarnya dia belum dokter, tapi saya suka banget
menambahkan gelar impiannya itu di depan namanya. Gak apa-apa, ya, kak J), untuk membantu saya
menyadari sisi gelap hati saya yang salah dan—nyaris—kalah malam itu. Tuhan
memanggil saya berbalik lagi pada saat itu, dan lihat, panggilan Tuhan untuk
kembali kepada-Nya bukanlah hak saya seharusnya. Dalam kondisi seperti ini, dan
ini sudah yang kesekian kali, mestinya layak bagi saya untuk tidak lagi
diampuni. Tapi, oh terlalu baiknya Tuhan itu! Anugerah-Nya, yang diberikan
kepada saya yang tidak layak ini, nyata malam ini dan membawa saya kembali
kepada suatu perjumpaan yang manis dan indah bersama-Nya.
Dalam kesempatan pertemuan dengan
kakak dokter saya malam ini, saya sempat menceritakan sebuah kegalauan saya,
dimana saya yang sekarang di tingkat terakhir ini harus memilih: apakah setamat
dari sekolah langsung pergi sekolah Alkitab untuk melayani Tuhan sepenuh waktu,
atau tunda setahun dulu untuk kerja? Kakakku itu tidak memberi banyak jawaban
sih, dia hanya bilang doakanlah. Nah, saat itu mulailah terbongkar kondisi yang
sesungguhnya, dimana belakangan ini saya sudah tidak lagi bersaat teduh maupun
berdoa secara pribadi.
Singkat cerita, menutup obrolan
kami yang cukup panjang malam itu, kami pun berdoa bersama. Dalam doa kami,
saya secara pribadi memohon ampun kepada Tuhan dan memohon kasih karunia Tuhan
untuk memperbaiki kehidupan kerohanian saya.
Selepas pulangnya kakak itu dari
rumah saya, akhirnya saya memilih mandi (ah, ini juga setelah melewati
pergumulan kemalasan). Setelah mandi, saat sedang bersisir di depan kaca, entah
mengapa saya teringat sepenggal bait lagu: “Gembalakanlah
kawanan domba Allah, yang dipercayakan-Nya padamu” dibarengi cerita
kesempatan kedua yang Tuhan Yesus berikan kepada Petrus, “Gembalakanlah domba-domba-Ku”
Ah, sepertinya saya mendapat
suatu insight yang menarik! (Eh,
sebelumnya, saudara-saudara, saya pastikan dulu, insight itu maksudnya semacam
inspirasi gitu, kan? Bukan penglihatan yang serem-serem, lho, maksud saya).
Begini, saudara-saudara. Tadi kan saya berdoa mohon ampun sama Tuhan dan minta
kesempatan pemulihan HPdT (Yaah, HPdT itu singkatan dari Hubungan Pribadi
dengan Tuhan, saudara-saudara), lalu seolah Tuhan berbicara secara pribadi
kepada saya, kesempatan kedua yang Tuhan mau berikan buat saya bukan hanya
kesempatan perbaikan waktu teduh, melainkan kesempatan untuk Tuhan berikan
kepercayaan dalam pelayanan pastoral, seperti Petrus yang tidak hanya diberi
kesempatan bertobat, melainkan juga menggembalakan kawanan domba Allah.
Saudaraku, suatu hak istimewa bagi saya si pendosa bebal ini, dan kenyataan ini
sungguh membuat saya luluh di hadapan Tuhan. Saya merasa begitu lega, tetapi
juga begitu terhormat, mendapat otoritas panggilan pelayanan sepenuh waktu dari
Allah. Oke, ini satu tanda kecil yang menjawab kebimbangan saya tadi, menurut
saya.
Nah, yang menarik,
saudara-saudara, konfirmasinya sepertinya tidak cuma sekali terjadi sepanjang
malam ini! Ketika akhirnya saya berdoa dan mengungkapkan banyak hal kepada
Allah (yeah, kenyataannya saya yang gengsian ini pasti selalu mellow kala berdoa), termasuk pilihan
langsung pergi ke seminari atau bekerja dulu selepas sekolah, saya minta Tuhan
bukakan bagian firman-Nya bagi saya malam ini. Dan setelah tidak pernah dibuka
sekian lama, saudara-saudara, akhirnya malam ini saya kembali membuka Alkitab
dan bahan renungan saya! (Ayo pakai sound
effect yang keren pada saat membaca bagian ini!)
Tidak disangka dan tidak diduga,
saudara-saudara, bagian firman Tuhan malam ini adalah Lukas 18:18-30, yaitu
orang kaya yang saleh dan sempurna menjalankan Taurat bertanya kepada Yesus
bagaimana caranya beroleh hidup yang kekal, lalu ketika Yesus berkata padanya
untuk mejual seluruh hartanya, ia menjadi teramat sedih. Saya menemukan suatu
fakta yang menarik di bagian ini, dimana orang kaya tersebut, meskipun telah
menjalankan taurat dengan sempurna sejak masa mudanya, tetap saja dalam
hidupnya ada kekosongan, ketidakpuasan, or
something like that, yang dikarenakan tidak adanya kepastian hidup kekal
dalam dirinya. Dan Yesus membawanya kepada satu prinsip terpenting dalam
kehidupan Kekristenan: lepaskan semua yang ada padamu dan serahkan hidupmu
seutuhnya jadi milik Yesus.
Saudaraku, bayangkanlah, saya
yang sedang galau memilih langsung sekolah Alkitab atau kerja dulu, kemudian
diperhadapkan dengan nats seperti demikian! Bukan ayat-ayat pengutusan pelayanan
sepenuh hati seperti “Ini aku, utuslah
aku!”, melainkan hanya sebuah bagian cerita kecil dari kitab Sinoptik
terakhir, “Juallah seluruh hartamu...
Ikutlah Aku.” Hei, bagi saya, perikop ini begitu dalam memanggil saya
kembali kepada prioritas hidup saya—ehm, mungkin lebih tepat saya bilang visi
hidup—memilih Yesus lebih dari semua!
Panggilan dalam bagian firman
Tuhan kali ini rasanya begitu kuat terdengar. Panggilan yang bergaung bagi saya
untuk terus melayani Kristus dan menanggalkan seluruh harta dunia yang berpotensi
saya kejar. Melayani Kristus dan menanggalkan seluruh pencapaian-pencapaian
duniawi yang fana sifatnya. Melayani Kristus sepenuh waktu tanpa peduli akan
diri sendiri, apa yang saya makan-minum-pakai pasti tersedia dalam
pemeliharaan-Nya. Melayani Yesus dan melupakan harta!
Saudaraku, satu lagi yang begitu
luar biasa dan tidak terbayangkan di benak saya. Di akhir dari teks renungan
yang saya baca malam itu, tertera sebait pujian yang begitu bermakna bagi saya
pribadi. Pujian ini adalah pujian yang pertama kali dulu memanggil saya kepada
pelayanan sepenuh waktu di ladang-Nya. Pujian ini yang selalu memberi kekuatan
dan peneguhan ketika saya hampir-hampir merasa pelayanan sepenuh waktu bukan
lagi menjadi panggilan Tuhan bagi saya. Pujian ini—sekali lagi—Tuhan berikan di
malam ini, kala saya sedang galau-galaunya dalam meresponi panggilan-Nya!
Saudara, bisakah engkau mengerti perasaan
dan pikiran saya saat ini? Apa yang ada di benak Tuhan memberikan tiga
konfirmasi berturut-turut di tengah kebimbangan hati saya, bahkan kalau engkau
ingat, malam ini adalah pertama kalinya saya bersaat teduh kembali setelah
beberapa hari meninggalkannya! Mengapa Tuhan mengkonfirmasikan suatu
kepercayaan pelayanan yang begitu penting kepada seorang pendosa seperti saya?
Oh Tuhan, tentu terlalu besar kasih-Mu yang tidak dapat lagi kumengerti, dan
tidak sanggup lagi kukhianati!
Saudara, malam ini, lagu pujian
yang selalu Tuhan pakai menguatkan saya untuk konsisten mempersiapkan diri
melayani-Nya sepenuh waktu itu, dipakai-Nya lagi. Dan setiap kali saya
mendengar atau melihat pujian tersebut, getaran hati ini memang tak pernah
padam dan terus meyakini hati kecil saya untuk tetap terjun ke dalam pelayanan
sepenuh waktu bersama-Nya.
Pada akhirnya, sudara-saudara,
dalam doa malam saya kepada Tuhan, saya berkomitmen kembali menjawab “YA!”
untuk semua panggilan Tuhan buat saya, tanpa kompromi apapun. Keraguan tetap
ada, ketakutan juga ada, tetapi saya mau serahkan semuanya ke dalam tangan
Tuhan. Tuhan yang memanggil, Tuhan yang memampukan, Tuhan yang dimuliakan!
Okelah, saudaraku, di akhir dari
tulisan ini, terlebih dahulu saya harus berterimakasih. Berterimakasih kepadamu
karena tentu engkau telah setia mendoakan saya. Berterimakasih kepadamu atas
kekuatan dan dukungan yang begitu berarti yang telah kau torehkan dalam hidup
saya. Terlebih-lebih, terimakasih karena engkau telah sedia waktu menyimak
cerita-cerita saya di blog ini!
Satu permohonan saya, saudaraku,
tetaplah mendoakanku. Doakanlah saya agar saya tetap dalam jalan-Nya. Engkau
tentu tidak akan memuji Tuhan Yesus, apabila seseorang yang saat ini bersaksi
tentang peneguhan yang baru saja diterimanya untuk melayani sepenuh waktu,
ternyata suatu hari nanti kau dapati membelok dan berbalik dari jalan kebenaran
yang seharusnya.
Engkau tentu tidak akan memuji
Tuhan Yesus, apabila suatu hari nanti kau temui hidupku tidak jadi pekabar
Injil, malahan hanya merusak Injil!
Untuk itu, saudaraku terkasih,
doakanlah aku!
Dan ketika kau mendapatinya:
saat-saat aku mempertanyakan Tuhan, saat-saat aku beralih, saat-saat aku
kehilangan pijakan, saat-saat aku jatuh, saat-saat aku galau, saat-saat aku
tidak berintegritas, dan saat-saat buruk lainnya dalam hidupku, kumohon,
saudaraku, nyanyikanlah lagi pujian ini bagiku!
Mari kita mulai dengan suatu pertanyaan. Apakah Rasul Paulus hanya merupakan
seorang penginjil saja? Ehm, maksud saya begini: apakah Rasul Paulus merupakan seorang yang memiliki hanya karunia penginjilan saja?
Kalau menurut saya, jawabannya tidak. Bagaimana menurut Anda?
Mungkin Anda bilang, loh kok jawabannya tidak. Jelas-jelas dalam surat
Korintus, Paulus pernah bilang “… aku menanam, Apolos menyiram…” (I Kor 3:6).
Menanam disini kan konteksnya menanam benih firman Tuhan, nah itu berarti
penginjilan, bukan? Oke, argumen Anda bisa diterima. Dan memang argumen Anda
tersebut tepat sekali!
Tetapi, saya mau ajak Anda melihat jawaban saya. Menurut saya, Paulus
tidak hanya berkarunia penginjilan. Dalam surat-suratnya di sepanjang
Perjanjian Baru, kita bias melihat banyak karunia-karunia lain yang dimiliki
Paulus. Misalnya karunia menulis. Dalam 1 Korintus 10:10 malah Paulus pernah
mengatakan, menurut sebagian orang, ia lebih fasih menulis daripada berbicara. “Sebab, kata orang, surat-suratnya memang
tegas dan keras, tetapi bila berhadapan muka sikapnya lemah dan
perkataan-perkataannya tidak berarti”. Apakah ini mengindikasikan Paulus
adalah seorang yang grogi-an? Lalu,
selain menulis, menurut saya Paulus juga memiliki karunia pertukangan. Dalam
Kisah Rasul 18:3, tercantum “….karena
mereka sama-sama tukang kemah.”
Tentu masih banyak karunia-karunia lain yang ada dalam diri Paulus.
Tetapi salah satunya yang menjadi paling menarik buat saya secara pribadi,
adalah karunia pastoral yang dimiliki
Paulus. Memang, Paulus bukan gembala di suatu jemaat tertentu. Ia hanya pergi mengabarkan
Injil ke suatu daerah, tinggal disana bersama-sama penduduk setempat untuk sementara waktu, lantas pergi ke daerah
lain. Namun demikian, jelas terlihat dalam hamper seluruh surat-suratnya,
Paulus mampu mengingat berbagai detil peristiwa yang ia lalui di wilayah
tertentu, bahkan ia mampu menyebutkan nama-nama orang yang ia layani. Jelas ini
bukan kemampuan pastoral yang diperoleh secara akademis, melainkan karunia
Allah sendiri, bukan?
Nah, perikop yang kita baca hari ini, bagi saya terasa seperti surat
pastoral-nya Paulus kepada jemaat Filipi. Mengapa pastoral? Mari melihat perikop-perikop
sebelumnya. Kita dapat menemukan doa dan kesaksian Paulus, antara lain
berbicara tentang pengalaman pelayanannya dan pengalaman spiritualitasnya
bersama Tuhan. Namun, di perikop ini, kita dapat menemukan nasehat Paulus
kepada jemaat Filipi. Rasa-rasanya saya seperti membaca sebuah surat
pembimbingan pastoral dari seorang Bapak Gembala yang sedang terpisah jauh
dengan jemaatnya, tetapi hatinya begitu melekat dengan para jemaatnya itu. Duh!
Surat pastoral ini bukan surat pastoral biasa. Surat pastoral ini amat powerful! Hanya dengan membacanya saja,
sungguh, terasa begitu dalam kerinduan dan keintiman hubungan rohani Paulus
dengan jemaat Filipi. Paulus tidak hanya memberikan mereka serentetan daftar
peraturan do’s and dont’s, melainkan
ia menuliskan sebuah pembimbingan nyata yang begitu tulus meluap dari hati
misinya. Paulus menasehatkan jemaat Filipi agar terus bertumbuh dalam
persekutuan dengan Kristus dan dengan sesama orang percaya. Suatu nasehat yang
tentu begitu menguatkan jemaat Filipi yang sedang “kehilangan” bapak rohani
mereka. Suatu surat yang seolah-olah berkata: “Jangan takut! Meskipun aku
dipenjara, kalian harus tetap bertumbuh dan berbuah!” Begitu menguatkan.
Terlebih-lebih, dalam perikop ini terdapat suatu rahasia yang amat
menarik, yaitu rahasia kekuatan persekutuan orang-orang percaya.
Rahasia-rahasia ini amat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan persekutuan
kita masing-masing, baik persekutuan gereja, persekutuan kampus/sekolah,
persekutuan kantor, dan sebagainya. Apa sajakah rahasia kekuatan persekutuan
itu?
1.Persekutuan yang Mengenal Allah
Oke, ini rahasia pertama yang juga
merupakan rahasia terpenting dari segala bentuk persekutuan Kristen.
Pertama-tama harus memiliki ini dulu. Mari lihat ayat 1a, “Jadi karena di dalam Kristus…” Paulus mengawali keseluruhan
perikop ini dengan frasa “di dalam
Kristus”. Persekutuan orang percaya berbeda dengan paguyuban ataupun
organisasi manapun. Persekutuan orang percaya dibangun dan berdiri di dalam
Kristus. Nah ini syarat mutlak dari suatu persekutuan Kristen. Sudah menjadi
persekutuan yang tidak sehat (atau mungkin tidak dapat dikatakan persekutuan
lagi) apabila tidak berada di dalam Kristus. Setelah persekutuan tersebut
dimulai di dalam Kristus, persekutuan tersebut juga harus membawa orang-orang
di dalamnya untuk mengenal Kristus. Nah ini bisa kita perhatikan di ayat 5-11,
dimana Paulus menuntun jemaat Filipi untuk memperlengkapi dirinya dengan
pikiran dan perasaan Kristus, untuk membuat persekutuan sesama jemaat semakin
hangat dan kuat, dengan tujuan akhirnya adalah untuk membawa segala sesuatu
tunduk dalam nama Yesus Kristus. Jadi persekutuan yang sehat adalah persekutuan
yang mengenal Allah, dalam arti: dibangun dan berdiri di dalam Kristus, serta
membawa jiwa-jiwa semakin mengenal Kristus. Sudahkah persekutuan kita
mengenal Allah?
2.Persekutuan yang Mengenal Diri
Sendiri
Rahasia kekuatan persekutuan yang
kedua setelah pengenalan akan Allah adalah pengenalan akan diri sendiri. Hal ini
bisa kita tarik dari ayat 2 “…hendaklah
kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,” juga dari ayat
3 dan 4 yang mengulangi sebanyak dua kali frasa“….kepentingannya sendiri…” Di ayat-ayat tersebut, memang orientasi
nasehat Paulus adalah untuk kesatuan jemaat dengan semangat kepedulian kepada sesama.
Namun bila kita melihat lebih dalam kalimat-kalimat di ayat-ayat tersebut, kita
akan dapat menemukan sebuah prinsip logis, yaitu tidak mungkin seseorang dapat
mengenal orang lain bila ia tidak mengenal dirinya sendiri. Tidak mungkin
seseorang dapat mengerti orang lain bila ia belum mengerti bagaimana dirinya
sendiri. Tidak mungkin seseorang dapat memahami kebutuhan orang lain, bila ia
tidak memahami apa kebutuhannya sendiri. Frasa sehati, sepikir, satu hati, satu
jiwa, satu tujuan, tentu maksudnya adalah untuk membawa jemaat kepada kesatuan.
Tetapi tidak boleh dilupakan bahwa masing-masing orang, sebagai satu pribadi,
memiliki hatinya sendiri, pikirannya sendiri, jiwanya sendiri, tujuannya
sendiri, dan bahkan kepentingannya sendiri!
Nah, bagaimana seseorang bersekutu sebenarnya adalah tentang bagaimana ia
mengenal dirinya: apa kekurangan-kekurangannya, apa kelebihan-kelebihannya, apa
keinginan atau target pencapaiannya, apa kebutuhannya, dan kemudian setelah ia
mengenal dengan baik siapa dirinya, barulah ia dapat menempatkan dirinya dalam
keunikan dan kekhasan persekutuannya, bersama dengan orang-orang di sekitarnya.
Nah, hal ini juga mesti dimengerti secara menyeluruh dan seimbang. Bukan
berarti orang itu mengenal diri dulu lantas baru masuk persekutuan, kalau belum
mengenal dirinya tidak boleh masuk persekutuan. Tidak, karena tidak ada yang
bisa mengenal diri kita selain Allah. Maka, dalam perjalanan kehidupan
bersekutu itu sendirilah akan dibukakan satu persatu siapa diri kita dan
semakin kita dimampukan untuk menempatkan diri di tengah-tengah persekutuan. Marilah
semakin mengenal diri untuk bersekutu dan semakin bersekutu untuk mengenal
diri!
3.Persekutuan yang Mengenal Sesama
Nah ini adalah rahasia terakhir,
sekaligus rahasia pelengkap dari keseluruhan rahasia kekuatan persekutuan.
Tentu dalam bersekutu kita akan berinteraksi bersama-sama orang lain yang mungkin
berbeda suku, latar belakang, gaya hidup, kebiasaan, hobi, pendidikan, status sosial,
dan sebagainya. Untuk itu diperlukan pengenalan yang benar satu sama lain. Dengan
mengenal sesama, barulah dapat tercapai tujuan akhir yang Paulus tekankan bagi
jemaat Filipi, yaitu saling bersinergi untuk semakin mengenal dan mewartakan
Kristus. Dengan saling mengenal barulah kesatuan tubuh Kristus itu dapat
tercipta. Perlu diperhatikan, untuk saling mengenal kita perlu memiliki
beberapa sikap yang sudah Paulus tuliskan disini, yaitu sehati sepikir, mau menyamakan persepsi kea rah yang lebih baik dan
terbaik. Bukan pendapatku atau pendapatmu, melainkan pendapat terbaik. Kemudian
tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Bila bisa
dirangkum, mungkin istilah yang tepat untuk dipakai adalah rendah hati. Dan yang terakhir, diperlukan sikap saling terbuka, untuk menceritakan kebutuhan
satu sama lain, supaya orang lain juga dapat mengetahui apa kebutuhan kita.
Sangat egois bila kita mengharapkan orang lain (sepersekutuan) mengetahui atau
memperhatikan kebutuhan kita tapi kitanya sendiri diam-diam terus, tidak pernah
mengindikasikan kalau kita membutuhkan sesuatu. Pertanyaannya, sejauh
mana persekutuan kita sudah mengenal sesama?
Mari kita bersama-sama menerapkan tiga rahasia kekuatan persekutuan
tersebut dalam kehidupan persekutuan kita masing-masing, hingga pada hari-Nya
nanti semua tujuan terciptanya persekutuan Kristen di seluruh belahan dunia
dapat tercapai, yaitu “supaya dalam nama
Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan
yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,”
demi kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:10-11)
Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari berbagai masalah dan
persoalan. Zaman Perjanjian Lama, Musa juga sudah menuliskan dalam Mazmurnya, ".....kebanggaannya ialah kesukaran dan
penderitaan..." (Mzm 90:10). Tidak peduli dia sudah lahir baru atau
belum. Orang Kristen sekalipun, yang sudah percaya Tuhan Yesus dan akan beroleh
kehidupan kekal, tetap akan mengalami berbagai kesukaran dan penderitaan.
Hal serupa dialami Paulus. Ketika ia menulis surat yg ditujukan utk jemaat
Filipi, ia sedang berada di dalam penjara Roma. Tentu dipenjara bukanlah
sesuatu yang menyenangkan, hal ini terbukti dari gaya penuturan Paulus dalam
perikop yang kita baca ini, banyak kalimat-kalimat yang begitu personal dan
seperti sedang "curhat"
kepada jemaat Filipi.
Kita akan dapat menemukan sisi kemanusiaan Paulus yang menginginkan kesukaran
dan penderitaan yang ia alami tersebut berhenti, dan lebih memilih kembali ke
sorga bersama-sama dengan Allah, dimana tidak ada lagi kesukaran dan
penderitaan (ayat 23). Namun, kita justru akan lebih dapat menemukan ungkapan
sukacita Paulus dengan masalahnya! Misalnya, di ayat 12-14, Paulus bersukacita
karena pemenjaraannya justru telah membawa kemajuan penginjilan. Lebih besar
dari keinginan Paulus utk cepat-cepat kembali ke sorga, adalah kerinduannya utk
tetap bertahan dan berjuang melewati deritanya, utk tetap berdampak bagi dunia.
Setidaknya kita bisa temukan 3 cara Paulus memandang masalah sebagai kesempatan
utk berbuah lebih banyak, hingga pada akhirnya memampukannya utk bersukacita
dengan penderitaannya:
1.Paulus memandang hidup secara utuh dalam perspektif Allah
Kehidupan orang Kristen
maupun orang non-Kristen sama-sama dipenuhi berbagai kesukaran dan penderitaan.
Bedanya, orang yang sudah lahir baru akan dimampukan Allah melalui Roh Kudus
utk memandang hidupnya sebagai anugerah. Orang Kristen dimampukan memandang
hidup secara utuh dan menyeluruh sebagaimana kacamata Allah memandang. Hidup tidak
dilihat sepotong-sepotong. Tidak melihat hanya masalah yg sedang dihadapi saja
lalu menggerutu: "Allah tidak adil!" atau "hidupku
kecelakaan!". Lebih daripada itu, kita dimampukan memandang masa-masa
hidup kita yg lain, tidak hanya pada masalah itu saja. Pengalaman pertolongan
Allah di masa lampau menimbulkan pengharapan utk masa depan. Hidup kita seperti
sebuah gambar puzzle, dan masalah yg sedang kita hadapi saat ini adalah
sekeping diantara keseluruhan puzzle tersebut. Memang saat ini kita belum bisa
melihat gambar puzzle tersebut secara sempurna, tapi kita bisa percaya Allah
tidak akan salah rangkai. Malahan, tanpa sekeping puzzle "masalah"
kita, keseluruhan gambar akan menjadi kurang lengkap dan kurang indah
dipandang.
2.Paulus menempatkan Kristus sebagai satu-satunya pusat hidup
Paulus mampu bertahan di
tengah-tengah penderitaannya, karena ia mengerti hidupnya bukan ia lagi (Gal
2:20) melainkan hidupnya adalah Kristus (Filipi 1:21). Selama kehidupan Paulus,
segala sesuatu adalah tentang Kristus. Mengalami kesenangan, kalau Kristus
kehendaki, ya dijalani. Mengalami kesukaran, kalau Kristus izinkan terjadi, ya
dijalani. Jadi tidak ada soal-menyoal dirinya sendiri, kok aku begini ya? Kok
hidupku susah ya? Tidak. Karena hidupku adalah Kristus, tidak mungkin Kristus
salah menempatkan peristiwa di dalamnya. Karena hidupku Kristus, sesulit apapun
derita, bukan aku sendiri yg alami, karena Kristus juga mengalaminya. Kristus
juga berjuang di dalamku dan bersama-sama denganku.
3.Paulus percaya bahwa kesudahan semuanya ialah jaminan
kehidupan kekalPaulus mengerti betul,
penderitaan yg dialaminya merupakan bagian dari kasih karunia yg ia peroleh
sepaket dengan anugerah keselamatannya (ayat 29). Kasih karunia demi kasih
karunia diterima orang percaya selama hidup di bumi, dan pemersatu semuanya
adalah jaminan kehidupan kekal di surga nanti. Hal inilah yang Paulus pegang
teguh (ayat 19) sehingga seberat apapun masalah yg dihadapinya, semua menjadi
tidak masalah bila dibandingkan dengan jaminan hidup kekal yg sudah pasti akan
diterima.